KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana atas segala
rahmat dan izin-nya, saya dapat menyelesaikan makalah tentang masalah hukum
kesehatan dalam Malpraktek.
Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan
kita Nabi semesta alam Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, saya dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan didalam makalah
ini. Untuk itu saya berharap adanya kritik dan saran yang membangun guna
keberhasilan penulisan yang akan datang.
Akhir kata, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu hingga terselesainya makalah ini semoga segala upaya
yang telah dicurahkan mendapat berkah dari Allah SWT. Amin.
Yogyakarta, Februari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………….………………………………………………………..1
DAFTAR ISI…………….……………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang………………………………………………….....…......…..….....3
B.
Rumusan
Masalah………….…………..……………………….....………...…….3
C.
Tujuan penulisan…………...........………………….……………......………....…3
D.
Manfaat Penulisan. . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. .4
BAB II KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Malpraktek...........................................................................................5
B.
Malpraktek dibidang
hukum..................................................................................6
C.
Pembuktian Malpraktek Dibidang
Pelayanan Kesehatan......................................9
D.
Tanggung jawab
hukum........................................................................................11
E.
Upaya Pencegahan dan Menghadapi....................................................................12
BAB III PEMBAHASAN
A.
Ilustrasi
kasus…………………………………………………………….…….14
B.
Pembahasan kasus………………………………………………..................….15
C.
Analisis
Kasus.....................................................................................................16
D.
Malpraktek Ditinjau dari Segi
Hukum................................................................17
E.
Malpraktek Ditinjau dari Segi
Etika...................................................................19
F.
Malpraktek Ditinjau dari Sudut
Pandang Agama...............................................21
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................22
B. Saran..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….....24
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan
salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat.
Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek
dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya
seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan
datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan
semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban
kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek yang sering
dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam terkait
alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada proses pelayanan
kesehatan. Terkait kasus-kasus yang muncul mengenai malpraktek, kasus yang
baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus malpraktek Mauren di Rumah Sakit Awal
Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin maraknya kemunculan kasus-kasus
malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan semakin meningkatnya
kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus malpraktek ini harus dikaji
sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu kelalayan dan
propesionalitas tenaga kedokteran.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis yang kurang memuaskan
pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya pencegahannya.
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan pengertian malpraktek
2.
Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran
3.
Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4.
Menjelaskan tentang tanggung jawab secara hukum
5.
Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara
menghadapi tuntutan hukum.
D.
Manfaat Penulisan
1.
Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan
terutama yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis.
2.
Memahami permasalahan yang berkaitan dengan malpraktek
tenaga medis serta upaya-upaya untuk mencegahnya.
3.
Memahami tuntutan hukum terhadap malpraktek tenaga medis.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Malpraktek
Malpraktek
merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi
yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti
“pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi
malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian
dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma
etika dan norma hukum dalam profesi bidan.Di dalam setiap profesi termasuk
profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu
apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau
dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang
etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan
berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek
perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan
sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica
malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice
(Lord Chief Justice, 1893).
B.
Malpraktek Dibidang
Hukum
Untuk malpraktek hukum atau yuridical
malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni
Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1.
Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat
dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.
Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act)
merupakan perbuatan tercela.
b.
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang
berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
i.
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
a.
Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia
Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan
sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan pidana
penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu
hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b.
Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus
Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
c.
Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1) Barangsiapa dengan
sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d.
Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.
e.
Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi: Ayat
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Ayat (2) Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama lima tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun. Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak
kesehatan. Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
ii.
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a.
Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l) Barangsiapa dengan
sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ayat
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
b.
Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.
iii.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a.
Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena
lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian
menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lamasatu tahun.
b.
Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat
(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan
menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
c.
Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan
atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan
Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga
mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat
pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana
ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2.
Civil
malpractice
Seorang bidan akan disebut
melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya.
c.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
d.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil
malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan
pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang
dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan
tugas kewajibannya.
3.
Administrative malpractice
Bidan dikatakan
telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah
melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya
(Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
C.
Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan
Kesehatan
Dari definisi
malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan
(perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan
dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi
tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian
bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah
lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan
tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi
teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya
upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil
(resultaat verbintenis).
Apabila bidan
didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang
mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan
ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal
malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah
memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a.
Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan
perbuatan yang tercela
b.
Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens
rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila
bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal
dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang
hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil
malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.
Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian
memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a.
Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan
pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2)
Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4)
Sudah ada informed consent.
b.
Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika
seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c.
Direct Causation (penyebab langsung)
d.
Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah
ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian
(damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu
pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.
Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara
pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang
diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res
ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.
Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b.
Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
Fakta itu terjadi
tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat
memotong tali pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut
yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan
kesalahan bidan, karena:
a.
Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian
tenaga perawatan.
b.
Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada
tanggung jawab bidan.
c.
Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian
tersebut.
D.
Tanggung Jawab
Hukum
Seperti dikemukakan
di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan
kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti
ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah
malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko
tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian
tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada
beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1.
Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai
akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah
disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan
maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2.
Vicarius liability
Vicarius liability atau
respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat
oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya
rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan
kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3.
Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat
atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum
tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga
yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut
dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain
(Hogeraad 31 Januari 1919).
E.
Upaya Pencegahan dan Menghadapi
Upaya pencegahan
malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Dengan adanya kecenderungan masyarakat
untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.
Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan
upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan
perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed
consent.
c.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior
atau dokter.
e.
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segala kebutuhannya.
f.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi
tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak
memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah
bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian
bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan
dapat melakukan :
a.
Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk
menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa
yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment),
atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)
sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.
Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan
mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan
pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan
bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
c.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan
jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan
kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan
digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan
dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan
harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya
harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
d.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa
loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban
(dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan
kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan bidan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Ilustrasi Kasus
1. Tanggal 10 April 2010
Korban, Julia Fransiska Makatey
(25) merupakan wanita yang sedang hamil anak keduanya. Ia masuk ke RS Dr
Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah
dalam tahap persalinan pembukaan dua. Namun setelah delapan jam masuk tahap
persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul tanda-tanda gawat janin,
sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan operasi caesar darurat. Pada
saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi
mengeluarkan feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar.
Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai,
pasien mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu
adalah tanda bahwa pasien kurang oksigen. Tapi setelah itu bayi berhasil
dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin memburuk dan sekitar 20
menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia.
2.
15 September 2011
Atas kasus ini, tim dokter yang
terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry Simanjuntak, dituntut Jaksa
Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga
korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak
bersalah dan bebas murni. Dari hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya
adalah karena adanya emboli udara, sehingga mengganggu peredaran darah yang
sebelumnya tidak diketahui oleh dokter. Emboli udara atau gelembung udara ini
ada pada bilik kanan jantung pasien. Dengan bukti ini PN Manado memutuskan
bebas murni. Tapi ternyata kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.
3.
18 September 2012
dr Ayu dan
koleganya ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Atas putusan MA, dr
Ayu ditangkap di tempat praktiknya, RSIA Permata Hati, Balikpapan, Kaltim,
Jumat, 8 November 2013 lalu. Ia dibawa ke Manado dan dijebloskan ke Rutan
Malendeng. Tujuh hari kemudian, satu kolega dr Ayu, dr Hendry Simanjuntak,
ditangkap di Medan Sumatera Utara. Ia menyusul dr Ayu, ditempatkan di Rutan
Malendeng. Kini hanya tersisa dr Hendry Siagian yang masih buron..
4.
11 Februari 2013
Keberatan atas keputusan tersebut,
PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya
Peninjauan Kembali (PK). Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa
putusan PN Manado menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan kalau ketiga dokter tidak bersalah melakukan tindak pidana.
Sementara itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK)
menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam
melakukan operasi pada pasien. Dan Menunjuk Jerry Tambu, SH, LLM, Ramli Siagian
SH dan Sabat Sinaga, SH, MH sebagai kuasa hukum untuk upaya Peninjauan Kembali
(PK)
5.
8 Februari 2014
Tiga dokter
terpidana kasus malapraktik, dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni, dr Hendry
Simanjuntak dan dr Hendy Siagian akhirnya benar-benar bebas. Kepastian
kebebasan mereka setelah salinan petikan putusan peninjauan kembali (PK) dari
Mahkamah Agung (MA), telah diterima Rutan Malendeng Manado, Jumat (7/2/2014) malam.
B.
Pembahasan Kasus
setuju dengan keputusan akhir Mahkamah Agung yang
menyatakan bahwa Dokter Ayu dan dua temannya dibebaskan berikut adalah point-point
yang mendukung keputusan :
a. Bahwa Dokter Ayu sudah melakukan
semua tindakan menurut proses yang standar dilakukan untuk sebuah proses
operasi Cesar. Jika menurut keluarga ada kelalaian dalam hal ini membiarkan
pasien mununggu berjam-jam dalam proses persalinan itu dikarenakan dalam proses
melahirkan ada tahapan-tahapan pembukaannya, dalam kasus ini sang pasien memang
membutuhkan proses sampai 8 jam untuk sampai pada proses pembukaan terakhir.
b.
soerang dokter juga hanya seorang manusia biasa yang juga hanya lah seorang
yang memiliki kemampuan lebih dalm membantu orang-orang sakit. Seorang Dokter
bukanlah Tuhan yang bisa membuat seseorang untuk terus hidup di dunia ini. Jadi
jikalau ada seseorang meninggal di rumah sakit itu bukan merupakan kesalahan
dokter apalagi dokter tersebut sudah melakukan semua prosedur sesuai dengan
profesinya. Karena hidup dan mati manusia hanya ditangan Tuhan bukan ditanggan
seorang dokter.
C.
Analisis Kasus
Masalah dugaan
malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Dugaan
kasus malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek mauren yang mengalami
putusnya dua jari kelingking mauren. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas
penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu
akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya
mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat
mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi
disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana.
Indonesia
berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Masyarakat semakin
sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap
kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang
Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya,
kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal
tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan
medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap
tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Ketidaktercantuman
istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di
Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut,
hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari
luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan.
Inovasi pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah
lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran
memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi
pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat
pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya
digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem
untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi
sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat diatasi seminimal mungkin.
Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi
tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
Salah satu upaya
untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent
(persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini
sangat perlu tidak hanya ntuk melindungi dari kesewenangan tenaga kesehatan
seperti dokter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga
kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan
perundang-undangan malpraktek.
D.
Malpraktek Ditinjau dari Segi Hukum
1.
Sangsi hukum
Jika perbuatan
malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan
(dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam
bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika
dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur
kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu
menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng
kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi
bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati untuk
mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya
ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat
kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian,
mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi
SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi
pidana.
Dalam
Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka
atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang
dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’. (2) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
Pemberatan sanksi
pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik,
sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan
yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka
pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan.
Berdasarkan Pasal
361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat
berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang
dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga
mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian
yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang
berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian
atau kurang hati-hatinya.”
2.
Kepastian hukum
Melihat berbagai
sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa
bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan
dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan
bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat
dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum
sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya
supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga
negara untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dengan
azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian
hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun.
Hubungan kausalitas
(sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan
malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter
telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
E.
Malpraktek Ditinjau dari Segi Etika
Ditinjau dari Sudut
Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI) Etika punya ari yang
berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah
itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah
sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau
buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi
bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana
saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat,
kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi
praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika
berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat,
serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu
kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa
profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal
2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus
sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga
menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan
untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan
terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang
dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya
advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh
lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus
tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus
dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika
kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh
undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang
berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga
yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar
hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil
sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan
demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan
komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian
kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar
dari tanggung jawab hokum profesinya.
F.
Malpraktek Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Ditinjau dari Sudut
Pandang Agama. Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang
menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Menurut pandangan
Islam. Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak
prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak
manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas
bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik
penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada
aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun
saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.
Dari sini dapat kita katakana
bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang
kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang
oada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai
satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam
tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Atas dasar beberapa
uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan
sehubungan dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1.
Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang
sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari
kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih.
Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malpraktek yang disidangkan di
Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di
mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan
cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum
masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di
atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
2.
Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu
sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus
malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst
diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum
untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus
malpraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
B.
Saran
1.
Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari
penegakan hukum yang aktif di dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif
dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini.
2.
Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam
mencari penegakan hukum, Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan
penyidik sesuai dengan isi KUHP, dapat meningkatkan peranannya dengan jalan
membina kerja sama yang erat dengan pihak penyidik (polisi) untuk dapat
membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini masih banyak yang ter-tutup,
baru kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif dalam mengambil
vonisnya.
3.
Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak
hukum ini, khususnya pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi
kasus malapraktek mereka dapat menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan
tepat sesuai dengan kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh dengan
cara mengadakan seminar-seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang
menyangkut masalah kebidanan, khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya
dengan kejadian-kejadian yang timbul di sekitar malapraktek. Atau minimal
mereka diberikan suatu pegangan/pedoman tentang hokum untuk profesi bidan dan
segala aspeknya. Dari hal ini diharapkan agar nantinya setiap kasus malpraktek
dapat benar-benar diselesaikan dengan tuntas.
4.
Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati
dalam melaksanakan tugasnya, masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya
dan penegak hukum dapat lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat
berjalan sebagaimana kita harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln, F., 1991,
Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik,
1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor
29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
http://www.aktualpost.com/inilah-kronologi-kasus-malpraktek-dr-ayu-selengkapnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar